KASUS I BISNIS YANG TIDAK BERETIKA
Unit
Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan tim
pengaduan masyarakat Satgas REDD+ sedang melakukan pengumpulan bahan dan
keterangan serta analisis atas dugaan pelanggaran ijin pada kawasan konsesi PT
X, sebuah perusahaan kelapa sawit, di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan
Tengah.
Penyelidikan
ini dianggap sebagai penguji atas janji pemerintah Indonesia untuk memerangi
pembabatan hutan dan memaksa perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan untuk
kembali ke jalur perijinan yang benar. Demikian tulis Reuters pada edisi Kamis
12 Juli 2012. Penyelidikan ini merupakan tindak lanjut atas temuan sebuah
kelompok konservasi lingkungan, Environmental Investigation Agency (EIA), setelah
melakukan penyelidikan mendalam atas kasus PT X.
Menanggapi
pertanyaan yang diajukan Reuters terkait masalah tersebut, Kuntoro
Mangkusubroto, Kepala Satgas REDD+ dan UKP4, mengatakan, “PT X diduga telah
melakukan pelanggaran atas kawasan konsesi sejak minimal tiga tahun yang lalu”
Menurut
Kuntoro, dugaan indikasi yang paling kuat sementara ini adalah bidang
lingkungan hidup dan perkebunan. “Pelanggaran PT X ini terjadi karena
perusahaan itu tidak memiliki Amdal dan lalai melakukan audit lingkungan sesuai
dengan kewajiban pada pasal 121 ayat (1) UU Lingkungan Hidup No. 32/2009,”
katanya sambil menambahkan bahwa perkebunan perusahaan tersebut berada di luar
konsesi sesuai ijin yang diberikan.
Melihat
beberapa pelanggaran yang terjadi di Kabupaten Pulang Pisau, termasuk PT X, ada
beberapa akar permasalahan yang berhasil diidentifikasi oleh Satgas REDD+.
Pertama,
masalah pengelolaan dan pemetaan tata ruang yang baik terkait dengan fungsi
perlindungan dituding menjadi salah satu akar masalah. Berdasarkan laporan
Amdal PT X No. 660/151/II/BPPLHD/2008, diketahui hampir 20.000 hektar areal
lahan konsesi milik PT X memiliki ketebalan gambut sedalam 4-8 meter. Hal ini
sesuai dengan peta RTRWP Kalimantan Tengah yang menyebutkan bahwa konsesi PT X
terletak di kawasan gambut dengan ketebalan yang termasuk dalam kawasan
pengembangan produksi. Padahal menurut Kepres No. 32/1990 tentang pengelolaan
kawasan lindung menyebutkan bahwa wilayah dengan gambut tebal dikualifikasikan
sebagai kawasan lindung dalam peta RTRWP.
Yang
kedua, UKP4 juga meminta agar Permentan No. 14/2009 dikaji kembali. Kajian ini
dianggap perlu karena peraturan mengenai perijinan kelapa sawit di kawasan
hutan tersebut dianggap tidak sejalan dengan upaya penegakan hukum.
Akar
permasalahan berikutnya adalah tidak adanya koordinasi dan sinergi antar
instansi pemberi ijin, terutama menyangkut Kementerian Kehutanan sebagai
perwakilan pemerintah yang mengatur penggunaan hutan dan Bupati sebagai pemberi
ijin operasional di daerah. Kondisi tanpa koordinasi dan sinergi inilah
yang menyebabkan PT X melakukan pelanggaran.
Prosedur
perijinan yang tidak dijalankan dengan baik oleh para kepala daerah merupakan
akar permasalahan yang keempat. Pada kasus PT X, perusahaan menjalankan usaha
perkebunannya tanpa dilengkapi analisis dampak lingkungan sehingga mereka tidak
dapat mengidentifikasi gambut dalam yang seharusnya dilindungi dari kegiatan
usaha.
Kelima,
PT X dianggap telah melanggar peraturan wilayah konsesi selama tiga tahun
karena lemahnya penegakan hukum. Parahnya, tidak ada sanksi administratif yang
diterapkan. Seandainya, peraturan ditegakkan, maka dampak kerusakan dapat
dicegah dan perusahaan pun harus tunduk kepada peraturan yang ada.
KOMENTAR:
Dalam menangapi hal di atas saya berkomentar Pemerintah
harus menindak tegas pelanggaran atas tata guna lahan tersebut. Pihak yang yang
berwajib harus lebih aktif dan jujur dalam menjalankan, mengawasi tugasnya,
karena kejujuran adalah modal utama dalam segala hal tindakkan. Semua yang
melanggar peraturan harus di hokum secara tegas. Termasuk aparat yang lalai
dalam tugasnya.
Referensi:
SATGAS
REDD+
Komentar
Posting Komentar